Monday, July 21, 2008

Started

I just need to believe in me,
that this is right
For good
For everybody
For us

Hopefully
I still have the courage
To find those answers
And finish this
With a happy ending

"it" has power
and I don't have to worry much
Because "it" never bounded with time
And we're waiting for that time

Will you wait?
Ah, even though you wouldn't
I wouldn't blame you
Coz it feels good when I see you happy...

Saturday, June 7, 2008

Repressive

Pernah bener-bener menginginkan sesuatu? Sangat ingin.. Saking besarnya keinginan itu, sampe-sampe ketika kita ga berhasil ngedapetinnya, itu bakal bikin kita terbebani banget. Yup, kalo dibuku Psikoanalisis, keadaan tadi namanya represif.

Represif ini bisa dibilang tingkatan paling rendah, dan yang terbesar adalah tahap histeria. Semua ini terjadi di alam bawah sadar sampe kita sendiri ga akan menyadarinya kalo emang ga mencari tau. Kalo udah sampe tahap histeria, ya gejalanya bisa sampe kebawa mimpi, dan semakin lama bisa menyerang saraf sensorik otak - dengan kata lain - kena penyakit syaraf.

Ngeri banget ya?! Kalo represif masih lebih mending, beban itu bisa hilang sedikit demi sedikit dengan melakukan pengalihan ke hal lain (entah apa itu). Yang bikin ini parah banget, it all happens under your unconsciousness. Orang yang keliatannya normal-normal aja bisa jadi sampe tahap histeria kalo dia gak tanggep sama gejala-gejala awalnya.

Ngomong-ngomong soal represif, histeria, keinginan, bla bla bla.. Kira-kira apa aja ya yang bisa bikin kita ngerasain seperti itu? Ya mungkin kalo ditinjau dari faktor religi, mungkin kurangnya iman sampe semua beban tadi merasa ga bisa disalurkan. Well, every feelings came from the Creator, right..? Memang yang paling pas untuk mengobati semua ya kembali lagi ke Penciptanya..

Mungkin sekarang gue lagi ada di tahap represif (entahlah, temen gue yang bilang, gue blom mencari tau lebih lanjut). Mungkin juga bisa keadaan bisa semakin parah kalo ga ditanggulangi lebih lanjut. Hahaha. Ironic.

Kemaren-kemaren gue bingung sama orientasi hidup gue.. Alhamdulillah semakin lama semua semakin jelas, dan Alhamdulillah lagi, gue sudah kembali menikmati kuliah gue kembali. Dan mungkin masalah yang baru.. Represifitas ini. Keinginan yang sangat besar dan dibarengi dengan kekecewaan yang amat sangat.

Emangnya gue mau apa sih?! Sampe harus dicap represif begini.. Hm.. Yang pasti untuk sesuatu yang sangat gue inginkan dan gue pikir akan gue dapet, tapi tiba-tiba harus hilang untuk alesan yang gak akan pernah gue tau..

Gue tau kok harus ngapain, but it's just too hard to accept this whole heartedly, somehow.

Tuesday, May 13, 2008

Perubahan

Gue baru baca tulisan di blog orang, intinya.. Satu-satunya hal yang pasti di dunia ini adalah perubahan. Dan yang membuat perubahan terasa berat adalah penerimaan dari masing-masing individu terhadap hal-hal yang tiba-tiba 'berubah'. Nah, seberapa siap sih kita menerima perubahan..?

Gampang sih, kalo perubahan yang diterima adalah perubahan ke arah yang lebih baik. Contoh: perubahan dari miskin ke kaya. Akan lebih mudah menerima kenyataan tersebut, kalo dibandingkan dengan keadaan yang sebaliknya. Intinya cuma bentuk penerimaannya aja.

Talking about change, people do change. Bingung memang kalo mengharapkan orang lain dalam keadaan yang sama seumur hidupnya. Things change. Pasti. Pasti banget. Tapi yang susah yaa itu tadi, penerimaan terhadap perubahan ini. Apalagi kalo udah terbiasa dengan zona nyaman yang ternyata ga bertahan lama. Hmm. It's just about yourself and your effort to accept the changes.

Mungkin gue masih harus banyak belajar berbesar hati kali yaa. Karena kata orang itu tadi, kebahagiaan adalah ketika kenyataan berjalan beriringan dengan keinginan. Kenapa banyak orang yang selalu melankolis dengan masa lalunya, ya karena mereka ga siap dengan perubahan yang terjadi sekarang.

Hihi, nulis gampang yaah. Prakteknya? Time will heal.. Hopefully..

Sunday, May 11, 2008

Love

Have you ever been in love? Horrible isn't it? It makes you so vulnerable. It opens your chest and it opens up your heart and it means that someone can get inside you and mess you up. You build up all these defenses, you build up a whole suit of armor, so that nothing can hurt you, then one stupid person, no different from any other stupid person, wanders into your stupid life...You give them a piece of you. They didn't ask for it. They did something dumb one day, like kiss you or smile at you, and then your life isn't your own anymore. Love takes hostages. It gets inside you. It eats you out and leaves you crying in the darkness, so simple a phrase like 'maybe we should be just friends' turns into a glass splinter working its way into your heart. It hurts. Not just in the imagination. Not just in the mind. It's a soul-hurt, a real gets-inside-you-and-rips-you-apart pain. I hate love.


by Neil Gaiman

But yet it gives you the most amazing feeling that you've ever known...

Monday, April 28, 2008

Bravery

Have you ever been in the most confusing moment? Ga tau harus ngapain, bingung nentuin pilihan, bingung harus bersikap.. Even you don't know how to be true to yourself..

Sometimes being passive doesn't always felt wrong, huh? Isn't that great to follow the path of your life without worrying that you'll gonna lost. When you keep walking and you're sure that you'll always be guided and suddenly you arrived there! Your destination. Isn't that the greatest surprise ever? You don't have to choose, you just do the whole scenario.

I think bravery suits them who dare to choose. Dare to fail. Dare to follow their heart, whatever matters around them. Somehow I just don't have that, yet.

Kinda feel strange when I'm dwelling in this kind of situation today, when I reviewed back my past. Doing something spontaneous was just something rare lately. And being adult is something full of responsibility, like it or not..

Saturday, April 26, 2008

Stage euphoria

3:51 am it is, facing the notebook and try to write something.. Just came back from watching the live band performance in the mall downtown. Yes, very entertaining. The rock ballade songs, back in the 70s. Songs from Queen, Metallica, the White Lions, the Eagles, kinda admit it that they're good. The difference between listening live music and the recording one was obvious. It's live! Very happening..

How sense should be the one that matters in architecture, I think most of us had been forgotten. How to make create something "beautiful" for everybody, not only beautiful for segmented people. I'm trying to analyze this new mall I described above, which offering an architecture for public to enjoy. The place was outdoor, with round stage and tables in "T" order. The stage placed in the crossing axis of the "T". I think this lay out and the atmosphere is great, coz everybody enjoyed it.

Good architecture doesn't have to be something trendy at a time. Like the British once said, "a thing of beauty is a joy forever" - Y.B. Mangunwijaya, Wastu Citra.

***

Saya ingin berkarya! Entah kapan. Suatu hari, pengen banget. Pengen bikin sesuatu yang punya perngaruh positif buat sekelilingnya. Kalo dibilang sekarang sedang meniti jalan ke arah sana, gak salah juga sih. Tapi kalo ditanya progressnya seperti apa, mmmm, entar dulu deh. Mungkin blom optimal, dan gue baru bisa nyimpen dulu cita-cita gue ini.

Sunday, April 13, 2008

Let's see the unseen

Kebenaran akan suatu hal itu apa sih? Yang bener menurut kata orang, kata buku, kata hati, atau kata Tuhan..? Terus nyarinya gimana ya? Kok semakin dicari semakin susah.. Tuhan juga ga akan segitunya ngasih jawaban yang turun dari langit. Semua harus dicari..

Semakin gue punya banyak gambaran tentang sesuatu, semakin gue bingung. Kapan ya, mata hati gue bisa terbuka selebar-lebarnya untuk ngeliat hal-hal yang ga keliatan kasat mata. Gimana caranya? Caranya dengerin kata hati ketika kata hati bertolak belakang dengan kata orang. Caranya mencari kebenaran yang hakiki.

Ah.. rasanya gue pengen menghilang.. Menghilang.. sejenak.. dari semua yang ada. Mau mencari kebenaran akan kebingungan-kebingungan yang gue rasain. Mau mempertanyakan semuanya. Mau punya waktu buat autis untuk nyari semua ini.. Entah berapa lama. Meditasi mungkin. Huhu.

Just a glimpse of uncertainty in mind

Kenapa harus peduli banget apa kata orang? Ya, karena orang tinggal di sekeliling kita. Trus kalo tinggal di sekeliling kita kenapa? Ya, kita akan selalu berinteraksi dengan mereka. Merekalah komunitas kita. Lalu? Ya, kalo opini yang terjadi di publik membuat kehidupan sosialisasi terhambat, siapa yang mau. Jadi harus selalu tampil baik di depan orang? Hahaha. Sulit ya. Maunya sih gitu. Hampir semua orang mungkin berpikir begitu.. Kan membangun citra untuk diri sendiri.

Kapan abisnya dong? Yaa, ga tau ya. Kan beropini adalah hak asasi manusia. Apapun yang terjadi pasti akan selalu ada respon. Jadi harus selalu tampil sempurna? Wah, balik lagi ke sifat dasar saya yang menghindari konflik, yah, mungkin itu salah satu kekurangan terbesar dalam diri saya. Ih, kok ga punya pendirian sih? Hahaha. Entahlah, untuk sesuatu yang enggak bener-bener gue yakini, gue akan sangat mudah mendengarkan apa kata orang. Payah dong, ga bisa nentuin sikap? Itu yang masih gue latih sampe sekarang..

Emang lo nyaman ya ngejalanin kehidupan kayak begitu? Sejujurnya, enggak. Tapi kalo untuk hal-hal yang udah jelas salah kalo gue tetep lakuin, sangat wajar kok untuk mendengar masukan. Bercermin doong. Enggak, maksud gue, untuk sesuatu yang ga penting-penting banget. Tadinya gue sangat mikirin opini orang. Tapi ya gue ga mungkin sejalan terus sama apa kata orang. Gue juga punya keinginan. Dan selama itu ga ngerugiin orang lain.. Mungkin gue akan berusaha tutup kuping untuk sesuatu yang gue yakini bener menurut hati nurani gue.

Yakin lo?! Hehehe. Yah di yakin-yakinin aja. Walaupun yang lo lakuin bertentangan dengan paradigma orang-orang? Mmmm. Ya. Siap dengan opini-opini? Entahlah. Cape juga kalo semua omongan orang didengerin terus. Kalopun ternyata gue salah, ya pembelajaran lah. Image lo? Sekali jelek bakal susah ilang lho. Ah. Entahlah. Sampe saat ini gue masih sangat beranggapan image itu penting sih. Tapi image bukan segala-galanya kan. Kalo salah langkah? So what, it's life man, where's the fun if there's no roller coaster right? Everybody learns. Dan terus kalo gue salah? Ya gue yang nanggung. Yang lain, silahkan tetap beropini. Syukur2 kalo bisa bantu..

Thursday, April 3, 2008

Finding myself

Wah, saya kembali menelantarkan blog lagi!! Huhu, memang bukan manusia yang konsisten : ( Yah, mo gimana lagi, ternyata waktu tidur yang udah minim (lagi-lagi) menjadi prioritas utama dalam pola hidup yang 2 bulan terakhir jadi hectic.

Jadi... Gue merasa menjalani hidup yang lamaaaaaaaa banget selama 2 bulan terakhir ini. Banyak hal yang terjadi, yah, yang pasti membuat hidup lebih bermakna. Banyak kejadian, kesibukan, macem-macem deh. Hmm.. Pengen banget share disini, sometime, someday, maybe.. Hehe..

Yah, jadi mungkin gue banyak mengambil beberapa keputusan penting dalam kehidupan perkuliahan gue. Kalo liat postingan2 gue sebelumnya tentang pertanyaan gue yang membuat gue "mandek" di dunia arsitektur. Yah.. Saya masihhh mencari jawabannya, seiring dengan perkembangan ilmu pengetahuan teman2 di sekitar saya. Jadi merasa ketinggalan banget. Uh. Kapan yah gue bisa ngejawab pertanyaan itu?

Ketika lo tau lo pengen jadi apa, tapi adrenalin untuk menuju ke situ kok semakin lama semakin berkurang.. berkurang.. dan yang paling sucks, lo ga tau kenapa bisa kayak gitu?! Dan gue jadi bingung.. Apa satu-satunya yang membuat gue masih (harus) bertahan adalah ketika otak gue memberi tahu gue harus jadi apa, dan ternyata hati gue mempertanyakannya kembali dengan memberi gejala-gejala yang gue sebutin diatas.

Haha mungkin tulisan ini cuma bentuk penyaluran kegelisahan gue kali yaa, bingung, kadang-kadang mungkin lebih enak ngoceh sendiri tanpa harus ditanggepin orang, dan mungkin media menulis udah media yang paling oke. Walaupun entah siapa yang baca. Yang penting merasa tersalurkan deh. Syukur2 ada yang bisa ngasih pencerahan.. : )

Yah, entahlah suatu solusi yang bijak atau bukan, tapi gue mencoba "mencari" jawaban atas pertanyaan gue dengan mencoba hal baru. Hmm. Dan pilihannya adalah dengan meningkatkan kembali soft skill gue, dimana, dengan tujuan utama adalah untuk melatih pola berpikir analisis gue dalam dunia arsitektur. Itu aja. Dan gue memilih masuk organisasi "besar" di kampus. Dengan banyak pertimbangan.

Pengen punya semangat "mempertanyakan" atas apa yang sedang terjadi, yang gue rasa minim banget gue ada di diri gue. Seperti ada yang pernah ngasih tau ke gue, "aku berpikir, maka aku ada".

Lalu... seiring berjalan waktu, gue mulai menikmati pencarian gue. Tapi jadi lupa sama tujuan awal dan mulai disibukkan dengan banyak agenda. Dan kembali inget setelah buka blog ini lagi. Hm. Apa pencariannya gagal? Belom sih. Belom banyak yang udah gue explore..

Dan mungkin gue juga disibukkan dengan "pencarian-pencarian" lain yang sedang gue cari. Apa emang sekarang ya masa-masa pencarian jati diri itu? Gue kayak orang bingung, banyak hal yang ga bisa gue sikapi dengan bijak. Banyak pertanyaan-pertanyaan di kepala gue yang ga bisa gue tanyain ke siapapun, harus gue cari sendiri. Kadang2 suka gelisah sendiri, tapi ga tau harus ngapain? Ya ampun...

Gue cuma berharap.. banget.. Gue bisa survive di masa-masa seperti ini. Gue serasa butuh orang lain untuk pegangan, tapi siapa? Mau tanya siapa? Apa iya orang lain udah punya tatanan ideal untuk pertanyaan2 gue? Apa iya, mereka sendiri udah survive melewati apa yang sedang gue lewatin? Ga ada yang tau kan..

Survive sekarang, atau enggak sama sekali.. Pilihannya cuma itu bukan?

Beruntunglah, orang-orang yang bisa cepet tau apa tujuannya dalam hidup ini. Ada yang baru tau jawabannya ketika masa tuanya, bahkan ada yang sampe mati ga tau tujuannya apa. Ada lagi, orang yang ga tau tujuannya apa, tapi sok tau. Dan yang paling parah, orang yang ga tau tujuannya apa dan ga berusaha mencari tau..

Gue masuk kelompok mana ya? Gue ga mau berlama-lama ada di posisi kayak gini.. Karena rasanya ga enak.. Banget..

Friday, February 1, 2008

Be ourselves

Ada apa dengan menjadi diri sendiri, sampe setiap orang harus mengusung segala ke'aku'annya. Dengan segala kelebihan dan kekurangan, kok kayaknya bangga banget mengakui "aku", sedangkan untuk sesuatu yang (sebenernya) bisa di kompromi, selalu ber "aku" untuk sebuah pembelaan.

Enggak, bukan gue yang salah pilih, cuma gue yang gak mempertimbangkan sejauh itu. Anggep aja ini suatu surprise dalam hidup gue. Yang kata gue, gue sangat menunggu-nunggu surprise. Ternyata yang dateng surprise yang seperti ini...

Tapi saatnya gue menjadi manusiawi dengan bilang kalo gue cuma manusia biasa, kalo semua ini butuh pengorbanan dari kita berdua. Bukan cuma satu.

Tuesday, January 29, 2008

Rest in peace, does he?

It's been 2 days since our second president passed away, Pak Soeharto. Despite all the controversy against him, let us just pray for his peace as a human being for him. In fact, there are still civil citizens who still respects him, and a lot of them vice versa.

Yes, he did a lot of developmental projects here in Indonesia, and we were once in our glorious days. And most of the citizens prefer those days when we were lead by Soeharto. Less hunger, less poverty, and less unemployment. It's the same feeling of eating a food with a lot of MSG inside it. It's delicious, but it's deadly harmful to our body.

But less of them realized that what we're facing today is the scrap of Soeharto's leadership. He doesn't only left us with charisma and a view remarkable development fossils, but also broken infrastructure and debts which must be repay decades later. By our grand grand sons, maybe.

Ah.. banyak yang nyalahin mahasiswa karena era reformasi kemarin, karena kalo ga ada kejadian tragedi 1998, mungkin rakyat kecil masih bisa beli minyak goreng dan nyekolahin anak mereka di sekolah deket rumah.

Tapi semua itu semu.. Because anything based on greediness and deceitfulness wouldn't last long. Dan susah.. banget.. kalo kita mendambakan perubahan sedrastis 180 derajat dalam waktu singkat. Kalo kata Mama Lauren, bakal ada bencana di tahun 2012 yang bikin Jakarta kehilangan lebih dari setengah penduduknya, dan baru bisa membangun kembali negara yang baik dengan pakem yang baru. (apa iya? Naudzubillah min zalik)

Yaudahlah. Gue cuma bisa berkomentar dan sedikit bertindak. Paling enggak, dengan kapasitas gw sebagai mahasiswa. Tapi pengadilan Tuhan itu udah yang paling adil kok. We don't need to worry about it...

Pas banget sama novel Laskar Pelangi-nya Andrea Hirata yang lagi gue baca, sehari setelah meninggalnya Pak Soeharto gue sampe bab 9 - Penyakit Gila No. 5. Gue kutip sedikit..

...Suatu hari dalam budi pekerti kemuhammadiyahan, Bu Mus menjelaskan tentang karakter yang dituntut Islam dari seorang amir. Amir dapat berarti seorang pemimpin. Beliau menyitir perkataan Khalifah Umar bin Khatab.

"Barangsiapa yang kami tunjuk sebagai amir dan telah kami tetapkan gajinya untuk itu, maka apapun yang ia terima selain gajinya adalah penipuan!"

Rupanya Bu Mus geram dengan korupsi yang merajalela di negeri ini dan beliau menyambung dengan lantang,

"Kata-kata itu memegang arti penting memegang amanah sebagai pemimpin dan Al Quran mengingatkan bahwa kepemimpinan seseorang akan dipertanggungjawabkan nanti di akhirat ... "


Memegang amanah sebagai pemimpin memang berat, tapi jangan khawatir banyak orang yang akan mendoakan. Tidakkah ananda sering mendengar di berbagai upacara petugas sering mengucap doa: Ya Allah lindungilah para pemimpin kami? Jarang sekali kita mendengar doa: Ya Allah lindungilah anak-anak buah kami ... "

Sunday, January 27, 2008

Sandwiched

Astaghfirullah al aziim.

Hehee, gue baru melakukan terobosan baru lagi dalam hidup guee, yaitu: mengendarai motor sendirian di jalan raya. Well, it's the second time, dan masih kerasa sensasi deg-deg an nya. Dan yang kedua ini cukup berkesan.

Jadi alesannya adalah; mau minjem spidol prisma color ke rumahnya Izza, deket sih, sekitar 6 km dari rumah. Butuh buru-buru. Orang-orang rumah lagi pada pergi, dan demi niat baik ngerjain tugas Tata Ruang Dalam yang ternyata masih tersisa (damn, padahal gw udah ingin lepas dari tugas), jadilah gw ke rumah Izza sendirian.

Waktu pergi, masih owkay, yah sedikit grogi juga sih. Mungkin gw bermental pengendara mobil? Gw selalu tepat berada di belakang mobil, unlike the usual of motorcycle driver - selalu mengagetkan ada di kanan jalan atau bahkan mendahului dari kiri?! Ckckck. Sebagai pemula, sangat ingin menerapkan tatakrama dalam mengemudi, secara gw benci banget sama pengemudi motor yg semena-mena. Hehe.

Selain gw juga ga punya SIM, yaa mau apalagi selain berjalan mengendap-ngendap.

Perjalanan pergi, no problemo. Pas pulang, gue bertemu macet. Di depan gue adalah barisan mobil-mobil sekitar 15 m dengan pangkal kemacetan di perapatan Perum. Berenti dong gue.. Tepat di depan gue adalah angkot yang agak kosong dan becak yang lagi ngendog (baca: ngetem). Ragu antara si angkot ngendog juga ato engga, mulai dateng bisikan-bisikan ke hati, "nyelip aja kali ya? Jangan2 angkot ini lagi ngetem?", begitulah kira-kira dilema waktu itu.

Dan berbekalkan prinsip bahwa dalam hidup harus percaya diri, jadi diteroboslah becak dan angkot yang berjarak kurang lebih 60 cm itu. Pelan-pelan. Tapi ternyata ga muat! Bwahahaha. Terdengar bunyi gesekan antara motor gw dan angkot itu, spontan supirnya berkata dengan volume (se)maksimal (mungkin).

"KALO GA MUAT JANGAN MAKSA DONG!", he shouted.

Ooo mai gaad. Gimana ieuh? Kumaha? Wong bener-bener kegencet. Dibentak pula. Ciut deh. Trus tukang becak dengan sigap berusaha memindahkan becaknya yang sedang dalam posisi horisontal - jadi agak susah dibelokin, harus diangkat dikit. Ada kali sekitar 30 detik gw berusaha lepas dari dua benda nyolot itu. Spontan waktu bisa jalan, gw bilang "makasih ya Mang!", trus ngacir. Yaiyalah, gue yg salah. Mana banyak yg ngeliatin. Bengeut ditaro dimana ieuh?? HUhuHuhU.

Alhamdulillah yang kena cuma stangnya doang, tapi pas sampe rumah gw ga berani liat motornya (atau lupa tepatnya?), jadi gw belom tau keadaan motor gue. Huhuhu. Jangan ditiru ya yg seperti ini. Tapi kayaknya sopir angkotnya tak enak ma gue, soalnya pas abis tereak gitu ga ada sumpah serapah yang kedengeran. Mungkin karna gw cewe kali yaa. Ga tau deh.

Maap yaa abang angkot dan becak. Makanya abang angkot jangan suka bikin kesel di jalan raya, jadi gw (sebagai mediasi karma mungkin) membuat abang angkot kesel akhirnya. Hehehe.

Moral of the day:
- Never, drive without license.
- Never, ever, ever, drive a motorcycle without good intention (terbukti yang berniat mulia aja masih kena cobaan, gimana yg make buat ngetrek?? Astaghfirullah.)
- Self confidence harus diikuti pengetahuan yang kuat, yakni: Semua anak arsitek juga tau kalo 60 cm itu adalah ukuran ideal untuk sirkulasi manusia. Dan ini 60 cm untuk motor?!? Whatde? Harusnya sebelum jalan gue baca buku Human Dimension dulu kali ya. Hehehehe.

Cheers!

Jakarta - what are WE doing to you?

Jakarta (Jaya Karta - Prosperous, Glorious City) Capital City of Indonesia, what are we doing to you??

JAKARTA , INDONESIA — A SINKING GIANT?

by Andre Vltchek

Today, high-rises dot the skyline, hundreds of thousands of vehicles belch fumes on congested traffic arteries and super-malls have become the cultural centers of gravity in Jakarta, the fourth largest city in the world. In between towering super-structures, humble kampongs house the majority of the city dwellers, who often have no access to basic sanitation, running water or waste management.

While almost all major capitals in the Southeast Asian region are investing heavily in public transportation, parks, playgrounds, sidewalks and cultural institutions like museums, concert halls and convention centers, Jakarta remains brutally and determinately 'pro-market' — profit-driven and openly indifferent to the plight of a majority of its citizens who are poor.

Most Jakartans have never left Indonesia, so they cannot compare their capital with Kuala Lumpur or Singapore; with Hanoi or Bangkok. Comparative statistics and reports hardly make it into the local media. Despite the fact that the Indonesian capital is for many foreign visitors a 'hell on earth,' the local media describes Jakarta as "modern," "cosmopolitan, " and "a sprawling metropolis."

Newcomers are often puzzled by Jakarta's lack of public amenities. Bangkok, not exactly known as a user-friendly city, still has several beautiful parks. Even cash-strapped Port Moresby, capital of Papua New Guinea, boasts wide promenades, playgrounds, long stretches of beach and sea walks. Singapore and Kuala Lumpur compete with each other in building wide sidewalks, green areas as well as cultural establishments. Manila, another city without a glowing reputation for its public amenities, has succeeded in constructing an impressive sea promenade dotted with countless cafes and entertainment venues while preserving its World Heritage Site at Intramuros. Hanoi repaved its wide sidewalks and turned a park around Huan-Kiem Lake into an open-air sculpture museum.

But in Jakarta, there is a fee for everything. Many green spaces have been converted to golf courses for the exclusive use of the rich. The approximately one square kilometer of Monas seems to be the only real public area in a city of more than 10 million. Despite being a maritime city, Jakarta has been separated from the sea, with the only focal point being Ancol, with a tiny, mostly decrepit walkway along the dirty beach dotted with private businesses.

Even to take a walk in Ancol, a family of four has to spend approximately $4.50 (40,000 Indonesian Rupiahs) in entrance fees, something unthinkable anywhere else in the world. The few tiny public parks which survived privatization are in desperate condition and mostly unsafe to use.

There are no sidewalks in the entire city, if one applies international standards to the word "sidewalk." Almost anywhere in the world (with the striking exception of some cities in the United States, like Houston and Los Angeles) the cities themselves belong to pedestrians. Cars are increasingly discouraged from traveling in the city centers. Wide sidewalks are understood to be the most ecological, healthy and efficient forms of short-distance public transportation in
areas with high concentrations of people.

In Jakarta, there are hardly any benches for people to sit and relax, and no free drinking water fountains or public toilets. It is these small, but important, 'details' that are symbols of urban life
anywhere else in the world.

Most world cities, including those in the region, want to be visited and remembered for their culture. Singapore is managing to change its 'shop-till-you- drop' image to that of the center of
Southeast Asian arts. The monumental Esplanade Theatre has reshaped the skyline, offering first-rate international concerts in classical music, opera, ballet, and also featuring performances from some of the leading contemporary artists from the region. Many performances are subsidized and are either free or cheap, relative to the high incomes in the city-state.

Kuala Lumpur spent $100 million on its philharmonic concert hall, which is located right under the Petronas Towers, among the tallest buildings in the world. This impressive and prestigious
concert hall hosts local orchestra companies as well top international performers. The city is currently spending further millions to refurbish its museums and galleries, from the National Museum to the National Art Gallery. Hanoi is proud of its culture and arts, which are promoted as its major attraction — millions of visitors flock into the city to visit countless galleries stocked with canvases, which can be easily described as some of the best in Southeast Asia. Its beautifully restored Opera House regularly offers Western and Asian music treats.

Bangkok's colossal temples and palaces coexist with extremely cosmopolitan fare — international theater and film festivals, countless performances, jazz clubs with local and foreign artists on
the bill, as well as authentic culinary delights from all corners of the world. When it comes to music, live performances and nightlife, there is no city in Southeast Asia as vibrant as Manila.

Now back to Jakarta. Those who have ever visited the city's 'public libraries' or National Archives building will know the difference. No wonder; in Indonesia education, culture and arts are not considered to be 'profitable' (with the exception of pop music), and are therefore made absolutely irrelevant. The country spends the third lowest amount in the world on education (according to The Economist, only1.2 percent of its GDP) after Equatorial Guinea and Ecuador (there the situation is now rapidly improving with the new progressive government).

Museums in Jakarta are in appalling condition, offering absolutely no important international exhibitions. They look like they fell on the city from a different era and no wonder — the Dutch built almost all of them. Not only are their collections poorly kept, but they lack elements of modernity — there are no elegant cafes, museum shops, bookstores or even public archives. It appears that the individuals running them are without vision and creativity. However, even if they did have inspired ideas, there would be no funding to carry them out.

It seems that Jakarta has no city planners, only private developers that have no respect for the majority of its inhabitants who are poor (the great majority, no matter what the understated and
manipulated government statistics say). The city abandoned itself to the private sector, which now controls almost everything, from residential housing to what were once public areas.

While Singapore decades ago, and Kuala Lumpur recently, managed to fully eradicate poor, unsanitary and depressing kampongs from their urban areas, Jakarta is unable or unwilling to offer its citizens subsidized, affordable housing equipped with running water, electricity, a sewage system, wastewater treatment facilities, playgrounds, parks, sidewalks and a mass public transportation system.

Rich Singapore aside, Kuala Lumpur with only 2 million inhabitants boasts one metro line (Putra Line), one monorail, several efficient Star LRT lines, suburban train links and high-speed rail
system connecting the city with its new capital Putrajaya. The "Rapid" system counts on hundreds of modern, clean and air-conditioned buses. Transit is subsidized; a bus ticket on "Rapid" costs only $.60 (2 Malaysian Ringgits) for unlimited day use on the same line. Heavily
discounted daily and monthly passes are also available.

Bangkok contracted German firm Siemens to build two long "Sky Train" lines and one metro line. It is also utilizing its river and channels as both public transportation and as a tourist attraction. Despite this enormous progress, the Bangkok city administration claims that it is building an additional 50 miles (80 kilometers) of tracks for these systems in order to convince citizens to leave their cars at home and use public transportation. Polluting pre-historic buses are being banned from Hanoi, Singapore, Kuala Lumpur and gradually from Bangkok. Jakarta, thanks to corruption and phlegmatic officials, is in its own league even in this field.

Mercer Human Resource Consulting, in its reports covering quality of life, places Jakarta repeatedly on the level of poor African and South Asian cities, below metropolises like Nairobi and Medellin.

Considering that it is in the league with some of the poorest capitals of the world, Jakarta is not cheap. According to the Mercer Human Resource Consulting 2006 Survey, Jakarta ranked as the 48th most expensive city in the world for expatriate employees, well above Berlin (72nd), Melbourne (74th) and Washington D.C. (83rd). And if it is expensive for expatriates, how is it for local people with a GDP per capita below $1,000?

Curiously, Jakartans are silent. They have become inured to appalling air quality just as they have gotten used to the sight of children begging, even selling themselves at the major intersections; to entire communities living under elevated highways and in slums on the shores of canals turned into toxic waste dumps; to the hours-long commutes; to floods and rats.

But if there is to be any hope, the truth has to eventually be told, and the sooner the better. Only a realistic and brutal diagnosis can lead to treatment and a cure. As painful as the truth can be, it
is always better than self-deceptions and lies. Jakarta has fallen decades behind capitals in the neighboring countries — in esthetics, housing, urban planning, standard of living, quality of life, health, education, culture, transportation, food quality and hygiene. It has to swallow its pride and learn from Kuala Lumpur, Singapore, Brisbane and even in some instances from its poorer
neighbors like Port Moresby, Manila and Hanoi.

Comparative statistics have to be transparent and widely available. Citizens have to learn how to ask questions again, and how to demand answers and accountability. Only if they understand to what depths their city has sunk can there be any hope of change. "We have to watch out," said a concerned Malaysian filmmaker during New Year's Eve celebrations in Kuala Lumpur. "Malaysia suddenly has too many problems. If we are not careful, Kuala Lumpur could end up in 20 or 30 years like Jakarta!"

Could this statement be reversed? Can Jakarta find the strength and solidarity to mobilize in time catch up with Kuala Lumpur? Can decency overcome greed? Can corruption be eradicated and replaced by creativity? Can private villas shrink in size and green spaces, public housing, playgrounds, libraries, schools and hospitals expand?

An outsider like me can observe, tell the story and ask questions. Only the people of Jakarta can offer the answers and solutions.

Thursday, January 24, 2008

Freedom!

Whii hiii. Udah selesai UAS. Bisa tenaaang sekarang. Hm, liburan enaknya ngapain ya? Pengen membenahi pola hidup sebenernya. Nantilah, we'll figure it out. Tapi pasti bakal disibukkin sama acara-acara yang bakal diadain kampus, seperti Sayembara Halte Busway Trisakti, persiapan Adhisthana Cup dan pameran Metamorfosa Arsitektur. Hmmm.

Eh, gue udah beli Laskar Pelangi dooongs. Tapi cekak jg sih, pengeluaran bulan ini udah banyak buat pengumpulan tugas. Hiks.

Tuesday, January 22, 2008

Last book I read

Gue baru selesai baca novel, judulnya "Astral Astria". Artinya perjalanan Astria. Pengarangnya adalah Fira Basuki, dan karya terbarunya Fira. Release Desember 2007, di Gramedia Matraman termasuk salah satu buku best seller.

Gue sering bingung mendeskripsikan buku yang jadi favorit gue, karena banyak banget buku bagus. Tapi kalo mau masuk kategori buku kesukaan agak susah, karena kadang-kadang kalo udah agak lama, gue suka mikir lagi, "emang buku ini beneran bagus ya?". Karena udah ada tolak ukur buku2 yang lebih bagus lainnya yang udah gue baca. Jadi yang selalu gue tulis sebagai buku favorit gue adalah buku yang jalan ceritanya kuat banget. Dan ga akan terlupakan walaupun ada novel2 bagus bermunculan.

Astral Astria bercerita tentang seorang anak perempuan yang konon titisan Dewi Sima di Dieng. Dengan segala 'keajaiban' Astria (artinya bintang), dia ngejalanin hidup untuk bertemu orang-orang baru dalam hidupnya dan berusaha menolong mereka. Diceritain kalo Astria ini pernah punya kehidupan lain sebelumnya, tapi dia juga muslim. Di Islam bukannya ga ada reinkarnasi ya? Itu sih yang membingungkan. Tapi ya.. Gue suka aja cerita kayak gini. Fantasy.

Yang bikin buku ini bagus adalah jalan cerita paralelnya. Keterkaitan antar karakter yang diceritain terpisah tapi sebenernya masih ada kaitannya. Inti dari ceritanya sih ga terlalu jelas, karena cuma nyeritain sebagian jalan hidup Astria aja. Kayak ga tuntas gitu ceritanya, karena disitu ga jelas apa yang sebenernya Astria cari. But afterall, this is a good literature. Nambah wawasan tentang banyak hal, terutama budaya Jawa. Fiktif, dan agak terkesan mistis. Cocoklah buat pemimpi seperti gue ini. Hehe.

Sekarang gue pengen banget beli buku lagi. Tapi mau nyicil aja, karena takut ga kebaca. Ada lebih dari 3 novel di rumah gue yang belom gue baca. Kalap waktu beli novel. 2 chicklit, 1 Princess Diaries, 1 Adventure of Sherlock Holmes, 2 buku arsitektur, dkk. Kapan waktu buat baca bukunya ya?? Gawat.

List buku yang pengen dibeli:
1. Tetralogi Andra Hirata, "Laskar Pelangi, Sang Pemimpi, Edensor, dan Maryamah Karpov"
2. Totto Chan - Tetsuko Kuroyanagi
3. The Secret - Rhonda Byrne
4. Ketika Cinta Bertasbih - Habiburrahman El Shirazy

Novel yang banyak ngajarin tentang motivasi dan makna menurut gue sangat menarik. Karena penyampaiannya gak ngebosenin dan ada alur ceritanya. Novel juga bisa mendidik. Tapi novel bagus menurut gue enggak melulu harus tentang motivasi dll sih.

Saat ini novel Indonesia favorit gue masih "Supernova: Ksatria, Putri, dan Bintang Jatuh" oleh Dewi Lestari. Keren banget. Plot ceritanya, alurnya, dan tentunya kemasan ceritanya. Dari triloginya ("Akar" dan "Petir"), menurut gue yang terbagus tetep yang pertama.

Penulis itu hebat yaa. Kalo buku itu sumber ilmu, berarti penulisnya jauh lebih hebat dari bukunya sendiri. Salut buat penulis yang bisa punya karya bagus, karena dia punya talenta hebat untuk berimajinasi sekaligus menggambarkannya dengan kata-kata. Padahal kita juga bermain dengan kata-kata kan yah tiap hari? Nulis juga sering, dari kita sekolah malah. Tapi cuma orang-orang tertentu yang bisa berkarya seperti itu. Two thumbs up. ^^

Sunday, January 20, 2008

Temennn

Hari Sabtu, ada temen gue yang ultah 2 orang - Hairul & Opal. Hairul hari Sabtu, Opal hari Minggu. Nggak dirayain sih, kita bikin cuma bikin "surprise" by kidnapping. Hehee. Jadi, mereka diajak ngumpul di Roti Bakar Edy. Dan sekitar jam 10, kita iket tangan n kakinya pake selotape, mata ditutup, trus masukin mobil. Diboongin mau dibawa ke Terowongan Casablanca. Padahal sih ke Senayan.

Rencananya adalah membawa mereka ke Kolam Renang Senayan (KTS), bernostalgia tempat "tongkrongan" kita dulu. Tapi ga jadi... Serem banget. Hahaha. Padahal niat nakutin tapi takut juga anak orang kerasukan kaan. Yaudah kita pindah lokasi ke... Keramik (aer mancur, masih di dalem Gelora Bung Karno. Letaknya tepat di seberang Hotal Atlet Century Park).

Keramik itu sebutan buat anak Arsitek Trisakti aja sih. Karena disekitar situ lantainya dikasih keramik (norak ya). Kenapa kita doyan kesitu, karena punya sense of belonging yg gede untuk tempat itu. Bwahahaha.

Yah nostalgia deh. Agak gelap n sepiii banget, ada sih beberapa orang yg lagi nongkrong. Lalu Hairul dan Opal ditelantarkan dibawah pohon. Biasalah, ditakut-takutin gitu, dan anaknya emang menunjang untuk ditakutin~ (penakut, red). Hehe. Kalo Hairul sih ga asik, hening tak bergeming, pemberani dan pembela agama, dan udah tau itu di Keramik. Hahaha.

Ada juga Satpam yang curiga, trus kita bilang aja ini ulang taun.

Tapi si Opal ini entah kenapa takut banget. Ditakut-takutin, biasalah. Ada yang nyinden, ada yang loncat-loncat, bermacam2 tiruan scene film horor deh. Sekitar setengah jam dibiarkan diatas tanah (kan ceritanya kita bilangnya kuburan), tiba-tiba satpamnya dateng lagi.

Opal: diam tak bergeming
Satpam: "Mas, jangan ditaro situ, pohonnya angker."
Kita: "HAH? Masa' sih Mas? Boong ah."
Satpam: "Lah, bener, demi Allah. Kalo mau sini aja, pinggir aer mancur."
Opal: meronta-ronta dengan gejala kejang-kejang

Bisa ditebak, paniknya amit2. Langsung digotong deh tuh si Opal (kalo Hairul udah berinisiatif melepaskan selotape). Dan Alhamdulillah ternyata Opal tidak apa2, tapi masih dalam tahap ketakutan yang amat sangat (tapi dia kayaknya gak denger omongan satpam barusan).

Tapi gak lama gue harus pulang, dan ceritanya jadi kepotong sampe situ saja yaa. Hehe.

***

Yesterday was remarkable moments for me.. We visited 2 places which were frequently being visited during ospek.

Roti Bakar Edy:
- Nongkrong bareng 2000 sampe jam 3 pagi
- Ngamen buat buka puasa & sahur on the road
- Rute terakhir sahur on the road 2006
- Ngamen buat Inagurasi

Senayan:
- Tempat tongkrongan pertamaaa banget
- Tempat bikin buku tanda tangan bareng2 dengan hebohnya
- Tempat latihan art performance buat Adhisthana Cup 2006
- Tempat rapat angkatan
- Tempat perkenalan para angkatan
- lastly, tempat pr*ssing

Being a melancholic person (based on the Personality Plus by Florence Littauer), yessh, it's very touchy. I missed the times when we had clear purposes, yang secara makro adalah jadi warga Adhisthana. That made the day more colorful, though VERY, VERY, VERY tiring. Dan menghabiskan banyak uang.

Tapi ga tau kenapa gue bisa sangat semangat kuliah waktu itu? Nilai juga bisa bagus... Beda banget semangatnya sama sekarang. Mungkin faktor suasana baru, temen baru, semangat baru, dan semua yang serba baru dengan lingkungan yang mendukung. Mungkin juga karena mata kuliah semester satu gak sesulit semester2 lanjut, gak tau deh.

Yang jelas sekarang gue masih mempertanyakan, what's happening to me? Kok gue kayak ngerasain ada yang ilang ya. Gak segeregetan dulu, kayak ilang tujuan. Padahal gue masih sangat ingin jadi arsitek. Belom ingin beralih profesi lho. Masih excited dalam mendesain. Tapi malas mengerjakan tugas. Nah loh. Dan puncaknya adalah ketika gue hampir gak lulus UAS 3dsMax (baca: Motivated (?))

Kalo kata Lancung (baca: Friend Came in a Handy Time), sesuatu yang ilang itu ya rutinitas gue yang dulu. Rutinitas ospek, tepatnya. Yang membuat pola perkuliahan gue jadi berubah total. Entahlah...

Dulu juga temen-temen gue nanya, "Git, kok lo semangat banget sih nongkrong?" Waktu itu sih alesannya karena gak enak sama temen-temen gue. Itu doang. Dan bukan sekedar rasa gak enak takut dikucilin, tapi ga enak ga ngerasain apa yang mereka rasain. Ya ketinggalan cerita, ya macem2. Dan sekarang baru kerasa kalo kebersamaan itu mahal banget ya.

Gue termasuk orang yang taat ngikutin proses ospek itu dari awal. Gue inget banget, gue telat masuk dan malam sebelum gue masuk, seseorang yg mengaku bernama Gendhis nelpon gue. Katanya ospek Jurusan Arsitektur udah mulai, dan dia adalah temen sekelompok gue yang bertanggung jawab mengabari orang2 yg belom masuk. Dan ternyata banyak banget barang2 yang harus dibawa besok.

Tapi gue semangat banget, sampe bela-belain ke Hypermart depan rumah buat beli barang segambreng. Hampir beli polo shirt item baru seharga Rp. 50.000, padahal kk gw punya (ya kegedean sih). Dan kalo bisa ga ada satupun yang ga sesuai ketentuan. Harus komplit dan sesuai.

Gue selalu excited ikutan yg kayak gini2an, karena ini saat-saat yg paling tepat buat kenal temen-temen gue. Gue gak mau gue masuk kuliah dalam keadaan temen-temen gue udah saling mengenal deket, and suddenly there came a stranger, and it'd felt like a wimps. Bukannya lebih baik kita sama2 saling kenal, dan kita bisa ada di dalam komunitas yang sama, bareng2. Tanpa ada yang ngerasa jadi pecundang. Ya mediumnya ospek ini.

Dengan segala kelebihan dan kekurangan yang amat sangat dimiliki oleh gue dan temen-temen gue, intinya sih ospek ini cuma belajar saling mengenal kok. Bisa saling nerima dan toleransi. Gue bisa deket sama orang yang sama sekali beda kebiasaan, beda pola hidup, beda latar belakang, dan semuanya. Dan proses perkenalan itu kita rasain selama hampir 10 bulan. Sangaaaaaaat panjang. Dan efeknya sangat besar.

Malah gue pernah bilang ke temen gue, kalo perlu gak ada baksos sekalian, biar bisa ngumpul terus. Hahaha.

Dulu gue ngerasa angkatan gue dipedulikan banget sama angkatan yang lain. Iyalah, mau masuk komunitas baru (eh, sekarang udah punya "adik" 2007). Masih ada yang ngurusin, dan kayak punya tempat bergantung. Gw juga kangen figur 2003 waktu masih ngurusin 2006 dulu..

Ah, gue lagi bermellow2 ya? Entah apa tanggepan gue baca tulisan ini beberapa hari lagi? Hehe.

Kalo dulu gue dan angkatan gue mengidam-idamkan "kebebasan" di kampus (yang sekarang telah, sedang, dan akan kami rasakan), sekarang kita pengen bisa nongkrong bareng lagi. Satu angkatan. Minimal 90%, kayak waktu absen2 ospek itu yang gak pernah mencapai 100%. Pengen banget.

Seandainya kita bisa ngumpul lagi, tanpa tekanan dari manapun. Kapan ya?

Tuesday, January 15, 2008

Pingin hibernate..

Hari ini gue abis ujian PA-3 (Perancangan Arsitektur 3, red). How it drained my brains. Hoh. Dan lusa ada pengumpulan 3 tugas annoying lagi, Teori Arsitektur 2, Metode Perancangan 1, dan Sejarah Arsitektur 3. Aduuuuuuuuh. Haunted by assignments : (

Harusnya gue ngerjain sekarang sih, tapi malah ngeblog. Gue bener-bener lagi blank aja. Gak bisa mikir, for some reasons. Mana udah ngantuk, mood gw lagi down banget. Semuanya aja deh. I really need someone to talk to, but nobody's availabe tonight. Ni postingan juga gak jelas intinya apa. Semua orang sibuk dengan kesibukannya masing-masing. Musim UAS, musim sibuk pengumpulan tugas.

Duh, jadi arsitek kok susah banget ya. Dan susah banget ternyata ngerjain tugas sambil dibebani pikiran2 yang (harusnya enggak) gue pikirin malam ini.

Pengen banget, short term memory lost gue berlaku untuk hal-hal kayak beginian. Dan seandainya sesuatu yang sedang gue pikirin ini tau kalo 'dia' sedang dipikirin, harusnya dia sadar kalo dia jauh lebih penting daripada 3 tugas diatas yang menunggu untuk gue kerjain...

Saturday, January 12, 2008

Friend came in a handy time

Last night my phone rang, and it wrote:

Lancung
938052**
Calling

And we had a long conversation ahead. But I prefer to consider it as a discussion, I think. We discussed a lot of thing. Life, relationships, study, friends, etc. At the time when I was dwelling in my confusions. Haha. Perfecto. There are a lot of new thoughts I had discovered, something deeper than what I usually seen.

I love making friends with people above my age, because I learned a lot from them. They told me their experiences, thoughts, and I knew what problems they had faced when they were in my age. And sometimes, they could answer my questions better then my own family (even my parents). Hm, I don't know, because I'm not that extrovert to my parents to talk about my own problems.

That's why I don't usually tell problems with friends in my age, because we're facing the same phase. Though I still share things with them (of course!), but often it didn't came up with good solutions. Talking with someone older gave me another perspective of seeing things. And.. they are wiser and more experienced, usually.

I once underestimated philosophy. Anything that related into it. Books, and the person who learn it deeply (being a student in that major in a bachelor degree). I thought that they could learn anything more realistic better than thinking too far in little things. And since I'm an architecture student, why should I learn things which having small correlation which wouldn't affects my study. (back in past, when I was in ospek, they did introduced me with these philosophy stuffs)

Then I forgot that architecture does came from philosophy (remember those philosopher back in Greek history? They were architects too!). LIFE does came from philosophy. Human civilizations does came from philosophy too. Because we'll never stop evolute in thinking.

I'd really love to spare my time reading some philosophy books, and currently do. Just a light philosophy book titled "Imaji dan Imajinasi". Hm, it's like everything has an image of representing itself, and we shouldn't see the image but see something deeper inside it. Yeaa, something like that. I just read the introduction, though.

By doing so, I hope I could be a 'deeper' person, and I could implement those thoughts to my design concepts. I'm longing to have a design which doesn't sell geometrical form (just like Ridwan Kamil said).

But well, my aim is to be someone that doesn't just be a human for myself. How to treat other people rightly. How to behave in my community. To be more sensitive in my surroundings, to see what REALLY happens around me, and (insya Allah) could contribute something to my environment. Manusia adalah makhluk sosial, afterall.

Kuliah gue emang penting, dan jadi arsitek adalah hal terpenting. But I wanna do anything I wanna do, because my 4 years of study wouldn't be as long as it counts. Time runs fast.

And I wanna live as perfect as it could - which perfect means; gue bisa ngerasain apa yang mau gue rasain sebagai mahasiswa, karena waktu gue gak akan balik lagi. The upside downs in life, the happy times, bad times, friends, love, live life lively, and do something useful. Besides riding my dreams to be an architect.

Well it's all about time management & motivation kok.

Karena ga ada satu hal pun di dunia ini yang sama sekali ga ada manfaatnya. Percaya sama gue.

Thursday, January 10, 2008

Motivated (?)

I think this semester is the nightmare of my study time. A lot of things happened recently, and I almost failed in one of my subject. Well it's all my fault, I admit it. Being unmotivated and not focus. I almost waste 300 thousand for a subject, it sucks, disappointing, and embarrassing. Which was caused by my lazyness and clumsyness and unfocusness and all stupid reasons.

I could see the way my lecturers looked at me, and I know they were very disappointed. Alas, I do want to change not because of them. It's just disturbed me whenever I disappoint people, whoever they are. Well maybe I have this kind of personality which I intend to try to satisfy other people, and would feel very guilty if I disappoint them.

Whatever happened in my life, I just hope that I could change it. Change the way I see things, the way I overcome problems. Err... Maybe I just have to made up my mind, and be motivated as the first time I came to my campus.